PDM Kota Manado - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Manado
.: Home > Artikel

Homepage

Aisyiyah dan Kebangsaan: Catatan Kongres Perempuan 1928

.: Home > Artikel > PDM
22 April 2016 17:28 WIB
Dibaca: 2306
Penulis : Syafa

 
Comite Congres Perempoean Indonesia (1928); [foto: dokumen mpi-ppm]
Dari kiri ke kanan: Ismoediati (Wanita Oetomo), Soenarjati (Poetri Indonesia), St. Soekaptinah (Jong Islamieten Bond), Nyi Hadjar Dewantoro (Wanita Taman Siswa), R.A. Soekonto (Wanito Oetomo), St. Moenjiyah (Aisyiyah), R.A. Harjadiningrat (Wanita Katholiek), Soejatien (Poetri Indonesia), St. Hajinah (Aisyiyah), B. Moerjati (Jong Java Meisjeskring) 

 

 

“Dalam Kongres Perempuan I, 22-25 Desember 1928, dari peserta kongres sekitar 600 orang, lebih setengahnya adalah kalangan Aisyiyah”, demikian menurut catatan Susan Blackburn (2005).

 

Berbeda dengan yang dicatat Susan Blackburn, Hoofbestuur Aisyiyah mencatat Kongres dihadiri sekitar 1000 peserta, dengan mengutip Congresnummer, Congres Perempoean Indonesia jang Pertama 22-25 Desember 1928 di Mataram, halaman 7-9. (Mataram, sebutan lain tempo dulu untuk kota Yogyakarta). Kongres ini diakhiri keputusan terbentuknya Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPI) pada 25 Desember 1928.

 

Meskipun berbeda data sejarah ini menunjukan kontribusi penting Aisyiyah pada Kongres tersebut. Aisyiyah termasuk pelopor dalam Komite Kongres dari 10 perkumpulan yang terdiri dari : Ismudiati (WO), Sunarjati (PI), ST Sukaptinah (JIB), Nyi Hajar Dewantara (Taman Siswa), RA Sukonto (WO), St Munjiah (Aisyiyah), RA Hardjadiningrat (Wanita Katolik), Sujatin (PI), ST Hajinah (Aisyiyah) dan B Murjati (JJ). Selain itu acara pembukaan Kongres ini dimeriahkan dengan lantunan Penembrana yang dilakukan oleh gadis-gadis Siswoprojo (siswi ‘Aisyiyah) dengan bahasa Arab dan Indonesia, yang isinya merupakan ucapan selamat datang dan memuji maksudnya kongres akan membuat persatuan perempuan Indonesia supaya tercapai (Adaby Darban, 2010:80).

 

Malam Ahad, 22 Desember 1928 dimulai resepsi untuk kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam Kongres Perempuan I yang dibuka ketua RA Sukonto. Kongres dihadiri sekitar 1000 orang dengan utusan dari 30 perkumpulan wanita. Juga utusan perkumpulan laki-laki yaitu Budi Utomo, PNI, CPPPBD, PI, PSI, MKD, JJ, Walfadjri, PAPI, PJA, PTI, Jong Madura, HB Muhammadiyah, JIB, PAPIM, PSD, Sangkoro Mudo, INPO, SIAP, serta utusan pers dan pemerintah Belanda (Adaby Darban, 2010:79).

 

Kongres Perempuan I memiliki nilai penting kebangsaan, maka pada Kongres Perempuan III di Bandung, 23-27 Juli 1938 yang dipimpin Ny. Emma Puradireja, dicetuskan momentum Kongres Perempuan I itu sebagai hari Ibu yang diadakan tiap tanggal 22 Desember. Serta kegiatan menjual bunga putih yang hasilnya diserahkan kepada pengurus kongres untuk dana hari Ibu yang akan digunakan untuk badan-badan amal Kongres Perempuan Indonesia.

 

Tanggal 22 Desember dipilih sebagai hari Ibu, karena tanggal itu menandai menggeliatnya kaum Ibu (baca, perempuan) di tanah air dengan berhasilnya menyelenggarakan Kongres Perempuan. Kongres yang di tengah rintangan dari kaum kuno yang masih mencintai adat tua. Yang menyatakan kaum istri tak perlu berkongres-kongres, cukup di dapur tempatnya, kaum isteri belum matang belum bisa berdamai dalam perkumpulan.

 

 

Aisyiyah, Agen-Praksis Perubahan Sosial

Hal penting dicatat, kenapa penyelenggaraan kongres Perempuan ini mengambil lokasi di Yogyakarta? Karena para aktor intelektual penyelenggara Kongres Perempuan yang berkumpul di kota Yogya. Dua organisasi besar Budi Utomo dan Taman Siswa berkedudukan di Yogya, yang tahun 1920 lahir Wanita Utama dengan ketuanya RA Sukonto dan Wanita Taman Siswa tahun 1922 dengan ketuanya Nyi Hajar Dewantara. Keduanya tinggal di kota ini. Budi Utomo tahun 1917 sempat menyelenggarakan Kongres bertempat di rumahnya KHA Dahlan—karena Dahlan dan muridnya adalah pengurus kring Budi Utomo.

 

Menarik dicermati Yogyakarta adalah ibukota Aisyiyah—perkumpulan perempuan Muhammadiyah—yang lahir lebih dulu dari Wanita Utama dan Wanita Taman Siswa yaitu 19 Mei 1917. Dan peran Aisyiyah bagi pemberdayaan kaum perempuan dan generasi muda adalah riil dan massif di tanah air dalam rentang tahun 1917-1927. Data-data sejarah membuktikan keikutsertaan dan kepeloporan Aisyiyah dalam Kongres Perempuan I di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928, turut memperkuat terselenggaranya Kongres ini (Adaby Darban, 2010:76-83).

 

Peran serta kaum perempuan dalam perjuangan kemudian diabadikan pula oleh Soekarno dalam bukunya Sarinah yang menempatkan gerakan perempuan sebagai mitra sejati perjuangan kaum lelaki. Dalam Sarinah (1963) Soekarno memaparkan peranan penting kaum Perempuan bagi Progresivitas kemajuan bangsa.

 

Namun jauh hari saat Soekarno masih remaja KHA Dahlan sudah mempraktekan pembinaan kader perempuan. Gerakan pembinaan dimulai dari kelompok pengajian dan kursus keterampilan yang tahun 1914 bernama perkumpulan Sopo Tresno. Bagi Dahlan, perempuan adalah mitra dalam merintis jalan perubahan sosial demi mewujudkan kehidupan masyarakat Muslim yang berkemajuan. Dari beberapa siswi binaan dengan rata-rata berusia remaja 15 tahun ini pada tanggal 19 Mei 1917 Sopo Tresno menjadi organisasi Aisyiyah dengan pengurusnya, Siti Bariyah (ketua), Siti Badilah (penulis), Siti Aminah Harawi (bendahara), Nyai Abdullah, Nyai Fatimah Wasal, Siti Dalalah, Siti Wadingah, Siti Dawimah, Siti Busyro (para pembantu).

 

Kepengurusan pertama ini diresmikan dan bergerak dengan program yang jelas: pertama, mengirimkan mubalighat ke kampung-kampung pada bulan puasa, kedua mengadakan perayaan hari-hari besar Islam, ketiga mengadakan kursus agama Islam untuk pekerja dan istri pegawai di kampung.

 

Tahun 1919 Aisyiyah sudah mendirikan TK (Taman Kanak-Kanak) pertama di tanah air, dengan sebutan Frobel (cikal bakal TK ABA, Aisyiyah Bustanul Atfal). Aisyiyah dengan cepat mengikuti perkembangan Muhammadiyah di tanah air setelah Kongres Muhammadiyah ke-11 tahun 1922 memutuskan semua cabang dan grup Muhammadiyah wajib membuka Aisyiyah. Tahun itu juga berdiri cabang Aisyiyah Pekajangan (Pekalongan). Gerakan Aisyiyah sudah gencar dengan mendirikan Mushala Isteri di Yogyakarta, tempat pembinaan khusus Aisyiyah.

 

Kweekschool Muhammadiyah Perempuan (Sekolah Guru Perempuan) berdiri di Yogyakarta, resmi 1 Januari 1923 menjadi Madrasah Muallimat. Tahun 1923 pula Aisyiyah mengadakan gerakan berantas buta huruf Arab (Al-Qur’an) dan Latin. Tahun 1926 menyusul cabang Garut mendirikan Mushala Isteri. Sedangkan di Yogyakarta berdiri Bustanul Atfal (Taman Kanak-Kanak) pertama di Yogyakarta.

 

 

Pencerdasan Lewat Media

Tahun 1927 Muhammadiyah berkembang di 127 tempat di tanah air. Sekolah yang dikelolanya terdapat di Surabaya, Surakarta, Jakarta, Purwokerto, Pekalongan, Pekajangan, Garut, Klaten, Lumajang, Madiun, Pasuruan, Bumiayu, Kutoarjo, Kalianget, Temanggung, Semarang, Kudus, Makasar (Sulawesi), Blitar, Ajibarang, Maninjau (Sumatera Barat), Sragen, Alabei, Brebes, Banyumas, Probolinggo. Saat itu Aisyiyah mengiringi tumbuhnya Muhammadiyah sudah ada di 127 tempat di tanah air. Perkembangan Gerakan Aisyiyah tahun 1927 ini menunjukan Aisyiyah sudah menyebar di penjuru tanah air, sehingga disebutkan Aisyiyah merupakan perkumpulan perempuan terbesar di tanah Hindia Belanda.

 

Pada Oktober 1926, karena cabang-cabang Aisyiyah sudah demikian bermunculan di tanah air, untuk mencerdaskan masyarakat baik anggota ataupun masyarakat simpatisan Aisyiyah mengeluarkan Majalah Soeara Aisjijah dengan menggunakan bahasa Jawa. Oplah pertama sebanyak 600 eksemplar. Tahun 1927 Soeara Aisjijah memuat karangan verslag dengan menggunakan bahasa Melayu. Dalam tahun itu berisi tulisan tentang isteri-isteri nabi. Dan memuat fatwa tentang perempuan naik sepeda, yang waktu itu ramai diperbincangkan.

 

Tahun 1926-1928, grafik pertumbuhan gerakan Aisyiyah sedang terus naik. Perkumpulan Aisyiyah ada di 127 tempat benar-benar data yang menunjukan gerakan ini mengakar di tanah air. Bukan tak ada perkumpulan lain, tetapi perkumpulan lain seperti Puteri Mardika (1912), Sri Fatimah (1918), Wanita Utama (1920), Wanita Taman Siswa (1922), Wanita Katolik (1924), JIBDA (1925), Puteri Indonesia (1927) tidak bisa berbuat sedahsyat gerakan Aisyiyah. Patut dicatat, pertumbuhan Aisyiyah bukan sebagai perkumpulan papan nama tetapi perkumpulan yang riil gerakannya di berbagai daerah. Ini diperkuat catatan Onnung Betawi dalam tulisannya bahwa Aisyiyah merupakan perkumpulan terbesar di Hindia Belanda, meskipun tidak digembor-gemborkan media cetak lainnya (Soeara Aisjijah edisi 1, Juni 1928).

 

Bila memahami peta sebaran Aisyiyah dan gerakan amal nyatanya dalam sepuluh tahun berdirinya (1917-1927) yang luas dan massif di tanah air, maka dengan sendirinya para pemerhati sosial kebangsaan di tanah air akan menyadari dimana letak peranan kontribusi Aisyiyah bagi umat dan bangsa ini. Apalagi kalau memerhatikan perkumpulan Aisyiyah sampai masa kini tetap setia berkiprah sepanjang 95 tahun (1917-2012). Dan media cetaknya Soara Aijijah (kini, Suara Aisyiyah) tetap setia hadir selama 83 tahun (1926-2012). Tentu saja rentang waktu panjang banyak amal yang diberikannya bagi umat dan bangsa.

 

 

Catatan Akhir

Kini bangsa ini sedang “sakit” dan Ibu pertiwi sedang menangis. Banyak pemuka anak bangsa yang lupa diri, lupa bahwa kelahiran NKRI dan Pancasila ditegakkan demi menuju kesejahteraan seluruh rakyatnya. Tapi keadaan alih-alih sejahtera, kekayaan alam negeri ini malah terkuras dengan rakyat banyak tetap menderita karena salah urus dan tidak menjadikan falsafah bangsa sebagai way of life. Mental serakah, materialistik dan perilaku yang diperbudak harta-benda melanda banyak oknum pemimpin bangsa. Padahal perilaku korupsi jelas bertentangan dengan falsafah negara dan etika Pancasila. Termasuk bila disandingkan dengan ajaran agama (Islam) perilaku korupsi amat bertentangan sekali.

 

Dalam situasi ibu pertiwi menangis, kekuatan kelembutan kaum Ibu (Perempuan) bisa menjadi rem bagi langkah salah arah. Pembinaan generasi muda dan mengingatkan kaum lelaki (suami) dalam keluarganya merupakan langkah strategis kalangan Ibu demi menyelamatkan bangsa. Karena Ibu dalam konteks bermasyarakat merupakan unsur penting penggerak kebudayaan. Tak luput dalam hal ini peranan Aisyiyah tetap diharapkan bangsa ini. Kaum Perempuan teruslah bergerak demi kemajuan umat dan bangsa. 



sumber: kompasiana.com

 

Syafa'at RS. M. Hasyim (kangsyaf@gmail.com)


Tags: Aisyiyah , PeranKebangsaan

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website