- Persyarikatan Muhammadiyah

.: Home > Artikel

Homepage

MUHAMMADIYAH MANADO DALAM LINTASAN SEJARAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL

.: Home > Article > PDM
16 Juli 2019 23:23 WIB
Dibaca: 1764
Penulis : Fauzan Anwar Sandiah

 

Sejarah Muhammadiyah Manado sangat terkait erat dengan bagaimana organisasi sosial-keagamaan yang didirikan pada tahun 1912 ini masuk ke Pulau Sulawesi secara keseluruhan. Sejarah Muhammadiyah di Kota Manado akan tetap berhubungan dengan sekitarnya serta mencakup Gorontalo dan Palu (Donggala, Banggai, Parigi, dan Toli-Toli). Kota Manado yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) selama ini dikenal luas sebagai pusat kehidupan masyarakat Kristen, dikenal sebagai salah satu representasi kota dengan jumlah gereja terbanyak di Indonesia, disebut sebagai “kota seribu gereja” (Makkelo, 2010). Manado juga dicitrakan sebagai kota toleran dan terbuka, kendati tempat ini berada di antara area konflik; Poso, Maluku, Maluku Utara, Ketapang, Sambas, dan Sampit. Secara antropologis, identitas komunitas di Manado dapat dilihat sebagai oposisi biner antara masyarakat Manado Selatan dengan latar Kristen-Minahasa sebagai superior dan Manado Utara dengan latar pendatang, baik Kristen-Pendatang (Sangihe) maupun Muslim-Pendatang dari Gorontalo, Bugis, Maluku, dan Jawa sebagai inferorior (Sumampouw, 2018).

 

Manado memang dikenal sebagai kota multikultur yang kompleks, ditandai dengan berbagai irisan identitas etnis dan ekonomi-politik yang tidak dapat dipisahkan secara mudah. Komunitas Kristen pun di Manado tidak tunggal. Kristen Minahasa, China, Muslim Bugis, dan Muslim Arab adalah elit atau pedagang sukses, sedangkan Kristen pendatang dari Sangihe dan Muslim Gorontalo pada umumnya menjadi pekerja kasar. Stereotip seperti ini masih bekerja untuk mengidentifikasi ketimpangan kemakmuran pada masyarakat di Manado. Pengertian Sejarah Muhammadiyah Manado dapat bermakna ganda. Pertama adalah sejarah Muhammadiyah Keresidenan Manado (1928 hingga 1940an) atau Sejarah Muhammadiyah di Kota Manado yang muncul ketika Manado ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Sulut. Persoalan ini dapat diselesaikan dengan memahami Manado sebagai entitas geografis yang meliputi kawasan di sekitar Teluk Manado daripada sebagai entitas administratif yang bersifat politik sehingga dapat berubah dari waktu ke waktu. Tulisan ini akan menggambarkan secara ringkas bagaimana Muhammadiyah dihidupkan di Manado sebagai entitas geografis.

 

 

Latar Islamisasi Pra-Muhammadiyah

 

Sejarah Muhammadiyah di kota ini sangat penting karena menjadi satu bagian dari proses Islamisasi di luar Jawa. Tesis gerakan sufi masih bekerja untuk menjelaskan proses Islamisasi di Sulawesi Utara sebagai latar utama sebelum Muhammadiyah masuk pada tahun 1928. Terutama ketika Kyai Mojo, penasehat agama untuk Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Tondano pada awal tahun 1830, sering disebut sebagai pengamal tarekat Syatariyah (Carey, 2011). Perlu disinggung bahwa Kyai Mojo atau Raden Mas Khalifah berasal dari Surakata dan memiliki nama yang berbeda-beda. Di Surakarta dia dipanggil Kyai Muslim sedangkan di Tegalrejo dipanggil Muhammad Syarifuddin. Kyai Mojo merupakan salah seorang penyebar Islam di Sulawesi Utara melalui pembentukan enklaf komunitas muslim, sekarang dikenal sebagai etnis Jaton (Jawa-Tondano).

 

Muhammadiyah di Kota Manado dan Sulawesi Utara dilatari proses persentuhan kebudayaan antara Ulama Jawa yang diasingkan ke Minahasa dan mempengaruhi pembentukan komunitas muslim. Setelah Kyai Mojo masuk ke Tondano pasca Perang Jawa, murid Syaikh Nawawi al-Bantani bernama Arsyad Thawil al-Bantani atau yang lebih dikenal sebagai Syaikh Arsyad Thawil pasca Perang Cilegon pada tahun 1888 yang terjadi setelah masa kritis masyarakat Banten ketika Gunung Krakatau meletus pada tahun 1883. Dalam catatan sejarah, Syaikh Arsyad Thawil menikah dengan seorang anak pendeta bernama Magdalena Runtu yang kemudian bernama Tarhimah Magdalena Runtu. Nama Syaikh Arsyad Thawil ini menjadi penting karena hingga kini menjadi simbol dari tokoh Islam di perkampungan komunitas muslim di Manado.

 

Manado pada awalnya adalah bagian dari Keresidenan Ternate. Pada tahun 1926, Keresidenan Manado meliputi Gorontalo dan Sulawesi Tengah (Palu, Banggai, Donggala, dan lain sebagainya). Pada masa okupasi Jepang di Indonesia tahun 1940an, sistem Keresidenan Manado dihentikan. Harus dipahami pada waktu Muhammadiyah masuk ke Sangihe Talaud dan berkembang di Gorontalo pada akhir 1920an dan awal 1930an, semuanya menjadi bagian dari sejarah Muhammadiyah Keresidenan Manado. Memasuki masa kemerdekaan pada 1945 hingga seterusnya ketika sistem pemerintahan Indonesia berdiri otonom, pembagian Keresidenan ini sudah tidak lagi diberlakukan, dan terus menerus mengubah batas-batas area Manado sebagai Keresidenan beberapa puluh tahun sebelumnya. Pada tahun 2000 Gorontalo berdiri menjadi provinsi sendiri, tidak lagi menjadi bagian dari Provinsi Sulut. Berdasarkan pada UU No. 38 Tahun 2000, Gorontalo resmi menjadi provinsi baru, salah satu penanda otonomi daerah di Indonesia. Gorontalo secara adminstratif memang terpisah dari Sulut sebagai provinsi dan Manado sebagai ibukota, akan tetapi sejarah perkembangan Muhammadiyah di Manado akan terus berhubungan dengan Gorontalo. Perubahan-perubahan politik turut berperan dalam mengubah konstelasi sejarah Muhammadiyah di bagian utara Indonesia ini.

 

Hasil gambar untuk stikes muhammadiyah manado

 

 

Fase Awal Muhammadiyah Manado

 

Dikutip dari Ibrahim Polontalo dalam Muhammadiyah di Sulawesi Utara 1928-1990 (terbit tahun 1995), kelahiran Muhammadiyah di Kota Manado diinisiasi oleh Bestuur Muhammadiyah Cabang Amurang pada tahun 1934. Peresmian Muhammadiyah Manado dihadiri oleh KH. Muchtar, Siti Badilah Zubir (mewakili PP Aisyiyah), dan Asi Nardjo mewakili Pemuda Muhammadiyah.ß Pada tahun 1935 Tom Olii diutus untuk menyebarkan Muhammadiyah di Manado. Polontalo juga mencatat beberapa nama yang menjadi inisiator pendiri, di antaranya: Jusuf Harisah, Salim Dunggio, Noho Tayapu, Umar Lausu, Pua Palamani, Abdul Razak Palamani, Lasoma Tawan, Abdullah Lahilote, Awad Wakid, Abdurrahim Wakid, dan Salim Wakid. Jabatan sebagai Ketua Umum diserahkan kepada Jusuf Harisah, Sekretaris adalah Raden Van Gobel, dan Abdullah Lahilote sebagai Bendahara. Setahun kemudian, status Groep Manado ditingkatkan menjadi Cabang Manado, dan memiliki pengurus Aisyiyah serta Pemuda Muhammadiyah. Pada tahun 1936 didirikan Madrasah Diniyah sebagai lembaga pendidikan pertama milik Muhammadiyah Manado yang terletak di Kampung Arab. Sekarang pada lokasi yang sama, berdiri gedung SMP Muhammadiyah 1 Manado.  

 

Hasil gambar untuk SMP Muhammadiyah 1 Manado

 

Sejarah Muhammadiyah Manado adalah bagian dari perjalanan Muhammadiyah di Sulawesi Utara. Berbagai saksi sejarah sepakat bahwa Muhammadiyah pertama di Sulawesi Utara berdiri pada tahun 1928 di Sangihe Talaud, kemudian menyebar ke Gorontalo tahun berikutnya. Penyebaran berjalan pada awal 1930an, mulai dari Amurang, Manado, Luwuk Banggai, Pagimana, Ampana, Bunta, Poso, dan daerah lainnya yang pada saat itu termasuk Keresidenan Manado (Polontalo, 1995). Lokasi tempat berdirinya Muhammadiyah pertama kali terletak di Petta, Sangihe Talaud. Polontalo menyebut beberapa nama perintis di antaranya; Jusuf Otoluwa, Ahmad Buji, Husain Akase, Umar Basalama, Mohammad Dunggio, Muhsin Mohammad, Haji Muhammad Said, Tom Olii, Utina H. Buluati, Abdullah Van Grey, dan Bouwe Nasaru. Bambarang Makaminang, Jusuf Ajulang, Made, Mohammad Musir, Abdullah Nikiwulu, dan Udung. K.H.R. Yunus Anis (Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1959-1962) datang ke Petta dan meresmikan Muhammadiyah di sini pada tahun 1928. Bambarang menjadi ketua, sedangkan Abdullah Nikiwulu menjadi bendahara. Seorang guru dari Yogyakarta bernama Mohammad Judi didatangkan untuk melakukan kegiatan pendampingan di Petta, Naha, Maronge, Utaurano, dan Talendano. Pada tahun 1934 berdiri sekolah Muhammadiyah yang pertama, Standard School Muhammadiyah. Pada saat yang bersamaan juga didirikan Groep Aisyiyah Petta, Groep Pemuda Muhammadiyah, dan Hizbulwathan. Dua tahun kemudian diselenggarakan Konferensi pertama Cabang, dihadiri oleh Tom Olii, Konsul Muhammadiyah Karasidenan Manado. 

 

Hasil gambar untuk Tom Olil Konsul Muhammadiyah Manado

Tom Olii Memilih Muhammadiyah, sumber: sandiahjauzi.wordpress.com

 

Peran Fase Kosmopolitan

 

Corak kosmopolitan Muhammadiyah tampil secara menonjol dengan keterlibatan aktivis Muhammadiyah yang juga berasal dari luar Manado. Ketua PWM Sulut (2015-2020) sekarang adalah Dr. H. Nasrudin Yusuf berasal dari Makassar. Beberapa periode sebelumnya (2000-2005) adalah Drs. H. M. S. Anwar Sandiah yang berasal dari Tidore. Pada masa-masa awal Muhammadiyah terbentuk di Manado terdapat nama Muhammad Judi Wiryotaruno pada tahun 1930an yang berasal dari Yogyakarta. Fase kosmopolitan adalah situasi yang memungkinkan para aktivis Muhammadiyah dari berbagai tempat terlibat dalam jaringan yang sama atau menciptakan komunitas jejaring di Manado. Fase kosmopolitan ini penting untuk menandai pergerakan kaum muda aktivis Muhammadiyah dan penanda intensitas mobilitas yang mereka lakukan. Tidak bisa dibayangkan pada masa-masa itu, dan setidaknya hingga era 1990an, mobilitas para aktivis Muhammadiyah ini begitu lekat antara satu dengan yang lain. Hingga tahun 1995 di mana teknologi komunikasi genggam mulai dipergunakan, para aktivis ini terhubung melalui pertemuan tatap langsung, selebaran informasi, dan korespondensi surat-menyurat. Perlu dicatat bahwa pada fase ini akses transportasi juga masih sangat terbatas. Perjumpaan lintas daerah membuat komunitas aktivis kosmopolit lokal ini begitu unik.

 

Aktivis Muhammadiyah yang berasal dari Manado, Sangihe, Palu, dan Gorontalo ini berhasil berakselerasi dengan fase-fase pemekaran Muhammadiyah berbagai tempat di Nusantara. Tidak cuma para kosmopolit lokal, baik pada masa-masa awal hingga era tahun 1970an, komunitas jejaring lintas pulau menjadi bagian penting pembentukan sejarah Muhamadiyah di Manado. Sebut saja nama Yoyo Surjana yang berasal dari Tasikmalaya yang pernah menjabat sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Sulut periode 1985-1990; Amir Majid ketua PDM Kota Manado era 90an yang berasal dari Makassar; Darodji Marzuki Majelis Tarjih PDM Manado dan juga Kepala MI Muhammadiyah Wawonasa yang berasal dari Sidoarjo; dan Wakil Ketua PWM Sulut yang berasal dari Makassar, Abdul Rahim.

 

Pada fase-fase awal pembentukan Muhammadiyah di Manado secara khusus dan di Sulut secara umum, spirit kosmopolit begitu terasa. Para penggerak Muhammadiyah di Sulut berupaya untuk meminta guru-guru yang berasal dari Yogyakarta untuk turun langsung mendampingi proses pengokohan organisasi. Selain itu, pada masa-masa awal juga calon aktivis Muhammadiyah dikirim menimba ilmu di Jawa. Sebagian besar dari mereka merantau ke Yogyakarta, dan diharapkan kembali ke Sulut. Beberapa nama misalnya yang dikirim untuk belajar ke Yogyakarta adalah Kaida Lambanaung, Abdul Azis Nikiwulu, Abdullah Ibrahim, Abdul Rasyid Salamuddin, Bunia Paparang, Adnan Tampilang, Sitti Hawa, Abdul Gapur Magpal, dan Saleh.

 

Fase kosmopolit ini juga didukung dengan peredaran bahan bacaan berupa selebaran, koran, dan majalah Islam yang dibawa melalui kapal-kapal dari Jawa. Pada masa itu, dapat ditemukan Harian Utusan Indonesia (diterbitkan oleh Sarekat Islam), Harian Bendeara Islam dan Harian Mustika (diterbitkan oleh Agus Salim dan Abdul Muis), dan terbitan Muhammadiyah seperti Suara Muhammadiyah, Penyiar Islam, Pancaran Amal, Harian Adil, Majalah Islam Raya, dan As-Siasah. Pada masa awal ini juga Muhammadiyah Sulut (Gorontalo) pernah menerbitkan surat kabar mingguan bernama Al-Iman.

 

Muhammadiyah di Manado adalah narasi lain dari praktik multikultural dan inklusif sama seperti di Kupang dan Sorong. Dalam lintasan sejarah, kehadiran sekolah Muhammadiyah yang memberi akses bagi masyarakat pribumi memungkinkan lembaga pendidikan organisasi ini menjadi wujud infrastruktur toleransi yang kokoh. Meskipun Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan yang dikhususkan bagi kalangan muslim, interaksinya sepanjang sejarah di Manado telah memungkinkan persentuhan yang intensif dengan berbagai kalangan. Habitus semacam ini mengakar dengan sangat jelas pada aktivis di Muhammadiyah, terutama pada akhir tahun 1990an, awal tahun 2000an, dan hingga kini. Para aktivis Muhammadiyah menjadi bagian dari kelompok muslim yang berupaya memediasi ketegangan yang berpotensi muncul akibat gesekan sosial dan ekonomi-politik. Lintasan sejarah Muhammadiyah di kota multikultur ini menyajikan poin penting tentang bagaimana gerakan Islam modernis dihidupkan dan berkembang. Perjalanan yang tidak singkat ini memberi dampak khusus bagi masyarakat muslim di Manado. Muhammadiyah telah berubah dari sebuah organisasi menjadi identitas kolektif bagi cita-cita pergerakan modernis Islam di tanah etnis Minahasa.

 

 

Fauzan Anwar Sandiah @fauzansandiah

Pegiat di rumahbacakomunitas.org

Mahasiswa Doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

 

Image result for muhammadiyah manado fauzan anwar sandiah

 

 

Sumber

Anwar Sandiah, Wawancara, 25 Desember 2018.

Ibrahim Polotalo, Muhammadiyah di Sulawesi Utara 1928-1990, Penerbit Karya Dunia Fikir, 1995.

Ilham Daeng Makkelo, Kota Seribu Gereja, Yogyakarta: Ombak, 2010.

Nono S.A. Sumampouw, Menjadi Manado: Torang Samua Basudara, Sabla Aer, dan Pembentukan Identitas Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018.

Peter Carey, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1985-1855, Jakarta: KPG, 2011

 


Tags: MUHAMMADIYAHMANADODALAMLINTASANSEJARAHMASYARAKATMULTIKULTURAL

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website